Cilacap, 25 Maret 2014
KEKUATAN RECEH
Apa yang akan terjadi ketika Anda berbelanja di sebuah warung dan
mendapati bahwa ternyata kembalian yang akan Anda terima serba tanggung?
Anda membeli se-pak lilin, 2 butir telor, dan se-empleng obat flu.
Untuk semua itu Anda ternyata harus membayar sebanyak 18.900 perak.
Anda keluarkan uang lembaran dua puluh ribuan, dan dengan hitung cepat
(quick count seperti di Pemilu) maka penjaga warung harus mengembalikan uang
sebesar 1.100 perak, tidak lebih dan tidak kurang.
Yang terjadi kemudian adalah transaksi yang sesungguhnya di luar
rencana Anda. Bisa saja pemilik warung akan mengembalikan uang kembalian dengan
1.000 ditambah bonus sebutir permen. Bisa juga anda akan ditawari untuk membeli
ini itu sedemikian sehingga jumlah belanjaan Anda menjadi tepat 20.000. Atau
bisa jadi Anda akan mendapatkan kembalian yang tepat 1.100 rupiah itu.
Bila opsi terakhir itu yang kemudian terjadi, maka akan Anda pisahkan
uang seribuan dengan seratus rupiah. Seribunya Anda masukkan ke dompet untuk
dipakai belanja di kemudian hari, dan seratusnya Anda masukkan ke saku.
Sesampai di rumah uang seratus perakan itu Anda letakkan begitu saja di atas
kulkas, di gawang jendela kaca, atau di atas lemari entah untuk dipakai kapan
lagi.
Repotnya menangani uang kecil dengan satuan seratus atau dua ratus
perak adalah anak-anak Anda sudah tidak mau lagi disangoni ke sekolah dengan
uang satuan paling kecil di negeri kita ini. Malu katanya. Terlalu berat, kilah
yang lain.
Apa yang terjadi dengan uang logam recehan itu terkadang memilukan
andai kita menjadi dia. Logam-logam itu kemudian akan mendiami tempatnya yang
baru untuk jangka waktu yang sangat lama. Saking lamanya sehingga logam-logam
itu akan memudar warnanya, berganti sedikit coklat kehitaman yang kita menyebutnya
sebagai teyeng atau korosi. Tidak banyak sidik jari yang melekat di sekujur
badannya, hanya sesekali kecoa yang lewat di atasnya sekedar numpang lewat
dalam perjalanannya mencari makan.
Receh-receh yang berserakan di atas lemari sedemikian termangunya,
menyaksikan teman-temannya yang lebih besar hilir mudik mengisi dompet-dompet
yang kita bawa tiap kali kita keluar rumah. Mereka menggerutu : buat apa
manusia mendandaniku dengan ukiran huruf dan angka kalau pada akhirnya aku
didiamkan begitu rupa?
Gerutu itu bisa begitu lama hingga kita mendapatkan kunjungan dari
tamu di luar pintu yang mendendangkan lagu sengau ini itu, kemudian kita
berikan recehan yang tekumpul itu, dan tamu itupun akan berlalu dengan ucapan
“Terima kasih…om?”, “terima kasih…Tante?”. Kita pun lega dengan perginya si
pengamen, uang recehan itu pun lega karena ia bakal kembali menjalani
hari-harinya sebagai sarana pembayaran yang sah dalam transaksi ekonomi antar
kita.
Habiskah recehan yang ada di atas lemari kita?
Tentu saja tidak. Bila tiap pengamen yang hadir di rumah sampeyan
kemudian diberi imbalan seribu perak saja, maka butuh sebanyak puluhan atau
mungkin ratusan pengamen yang menyanyi serentak agar recehan Anda bisa beranjak
semua dari atas lemari.
Andakan pun pada suatu waktu ada puluhan atau ratusan pengamen
tiba-tiba mendatangi Anda secara berbondong-bondong, dan dengan itu uang receh
di atas lemari Anda bisa habis tak tersisa, maka siklus akan bisa terulang
hanya dalam hitungan hari, atau mingguan. Itu karena pada saat yang sama Anda
akan tetap berbelanja, dan tiap berbelanja, Anda akan memiliki probability yang
besar untuk mendapatkan kembalian berupa recehan, begitu seterusnya.
Bukit Diciptakan dari Tumpukan Tanah
Pernahkan Anda menghitung sebenarnya berapa banyak uang recehan yang ada
di gawang jendela, di atas lemari, atau dimana saja tempat yang memungkinkan
Anda meletakkan receh begitu saja?
Pernahkah Anda menimbang seberapa banyak massa yang tertimbun dari
onggokan logam-logam yang dibentuk lingkaran, dicetak dengan ukiran gambar dan
huruf, yang Anda abaikan begitu saja?
Pernahkan Anda berpikir bahwa receh-receh yang secara tidak sengaja
Anda timbun itu memiliki nilai yang cukup besar untuk membangun atau memelihara
sesuatu yang setiap hari Anda kunjungi, yakni masjid?
Pertanyaan yang terakhir mungkin belum pernah Anda bayangkan dalam
benak Anda.
Kita memang terbiasa untuk menyisihkan uang barang dua ribu atau lima
ribuan tiap kali kita pergi sholat Jumat. Kita masukkan lembar uang kertas itu
ke dalam kotak yang akan mengelilingi jamaah pada saat sang khotib sedang
berkhotbah.
Kita juga tidak asing dengan sumbangan yang kita berikan kepada ta’mir
masjid ini atau itu taktala mereka sedang membangun atau merenovasi masjid di
lingkungan kita.
Kita sisihkan semua uang-uang itu dari alokasi ZIS yang menjadi bagian
penting dari distribusi pendapatan kita tiap bulannya.
Alangkah indahnya bila alokasi sodakoh dan infak yang sudah jelas sumber
anggarannya bisa ditambah dari sumber-sumber lain yang terasa remeh bagi kita,
yakni receh-receh itu?
Andai saja tiap diri kita menyisihkan recehan empat ratus perak setiap
harinya saat pergi sholat duhur atau asyar di masjid, maka sebulan dapatlah diharapkan
terkumpul uang sebanyak dua belas ribu rupiah. Itu adalah operasi aljabar yang
sederhana. Dan itu baru diperoleh dari seseorang dari kita.
Pengandaian itu bisa dilanjutkan bila ada sepuluh orang saja jamaah
masjid yang berpola serupa, maka sebulan-bulannya masjid akan mendapatkan dana
operasional sebesar seratus dua puluh ribu rupiah. Jumlah yang tidak sedikit,
dan dengan itu tanggungan listrik tiap bulan dapat teratasi. Hebatnya hany dari
peranan si receh-receh yang berserakan di rumah-rumah kita.
Penting juga untuk dipahami, bahwa mengeluarkan
sodakoh dalam bentuk receh-receh tentulah jauh lebih mudah daripada harus
mengeluarkan infak dalam jumlah yang sama tetapi dilakukan pada suatu waktu.
Secara psikologis, langkah infak bersama receh jauh lebih memungkinkan dan
ringan rasanya ketimbang melakukannya dalam suatu waktu dengan menggunakan uang
lembar dalam satuan lebih besar meski jumlah nominalnya sama adanya.
Cilacap, 31 Mei 2013
KURIKULUM 2013
Kurikulum berasal dari bahasa Latin, curere, yang berarti jalan yang harus dilalui, dari start sampai finish.
Dahulu kala kata curere konon
digunakan dalam lomba lari oleh bangsa Yunani.
Kini makna kurikulum dalam kosakata kita memiliki
arti yang lebih spesifik, yakni perangkat mata pelajaran dan program pendidikan
yang diberikan oleh suatu lembaga penyelenggara pendidikan yang berisi rancangan
pelajaran yang akan diberikan kepada peserta pelajaran dalam satu periode
jenjang pendidikan.
Kurikulum memang penting dan signifikan peranannya, karena kurikulumlah
yang menjadi pedoman dalam proses kegiatan belajar-mengajar, baik dalam ranah
pendidikan forman, non formal, mapun informal. Kurikulum tak ubahnya sebagai
kendaraan yang diharapan mampu mengantarkan proses pendidikan nasional ke arah
tujuan yang telah dirumuskan.
Periode 10 Tahunan?
Renungan kita tentang pentingnya kurikulum seakan selalu disegarkan
paling tidak dalam tiap satu dasawarsaan. Tapi diktum ini ternyata keliru,
tidak ada pola tahunan yang pasti suatu kurikulum akan berakhir dan diganti
dengan kurikulum berikutnya.
Sejarah kurikulum dalam bentangan sejarah pendidikan di negeri kita
ternyata memiliki mozaik yang beraneka rupa. Kurikulum selalu berubah,
mengikuti perubahan zaman, konflik kepentingan, dinamika nilai, atau sekedar
latah : Sang Menteri Pendidikan mesti mempunyai karya yang bernama kurikulum.
Kurikulum dalam hasanah dinamika bangsa kita ini dimulai pada tahun
1947, yakni awal-awal kita menikmati kemerdekaan, kebebasan, euforia masa depan
yang cerah, namun di sisi lain masih ada agresi militer dari bangsa asing yang
kepingin bercokol kembali di bumi pertiwi ini.
Tidak mengherankan kalau kurikulum yang disusun pada tahun-tahun awal
kemerdekaan kita itu berisi pengajaran dan pembelajaran yang mengedepankan
tumbuhnya rasa patriotisme, persatuan dan kesatuan, dan harga diri bangsa.
Kurikulum yang dilahirkan pada tahun kedua era kemerdekaan itu dikenal dengan
nama Rentjana Pembeladjaran 1947.
Bayi yang bernama kurikulum 1947 itu kemudian disempurnakan pada tahun
1952. Pada tahun 1964, yakni di akhir-akhir era orde lama, lahirlah kurikulum
baru yang dinamakan Rentjana Pendidikan 1964.
Baru empat tahun sejak diberlakukannya kurikulum 1964, pemerintah orde
baru sudah merubah arah pendidikan kita dengan mengeluarkan kurikulum 1968.
Nuansa politis ditengarai menjadi salah satu alasan mengapa kurikulum 1968
tersebut lahir.
Tujuh tahun berikutnya, pemerintah kembali mengeluarkan produk
kurikulum yang kita kenal dengan nama kurikulum 1975.
Pada tahun 1984, lahirlah kurikulum yang mengedepankan skill aproach,
atau yang lebih populer dengan trik CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). Siswa
sudah menjadi subjek kurikulum, dengan guru sebagai fasilitator. Keluhan yang
mengemuka pada saat itu adalah kegaduhan kelas akibat dari sistem CBSA. Kritik
yang dikemukakan pada saat itu adalah bahwa CBSA tidak akan bisa berjalan
dengan optimal karena CBSA itu sendiri (Cah Bodo Sih Akeh).
Penjurusan dilakukan di kelas 2, meliputi jurusan Fisika, Biologi, IPS,
dan Bahasa.
Setelah itu kita mengenal kurikulum 1994, yakni kurikulum yang
diundangkan pada tahun 1994. Beberapa istilah khas yang menjadi index dalam
terminologi kurikulum pada saat itu adalah GBPP (Garis-garis Besar Program
Pengajaran), RP (Rencana Pengajaran) yang memuat TIU (Tujuan Instruksional
Umum), dan TIK (Tujuan Instruksional Khusus).
Pada tahun 2004, pemerintah mengundangkan kurikulum pengganti yang
dinamakan Kurkukulum Berbasis Kompetensi (KBK). Dua tahun berselang, KBK
bermetamorfose menjadi KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Sebagaimana
adatnya, berganti baju akan diikuti pula dengan penggantian beberapa istilah
dengan konten yang sama. GBPP berubah menjadi Standar Isi (SI), RP berganti
nama menjadi RPP (Rencana Program Pengajaran), TIU menjadi SK (Standar
Kompetensi), dan TIK menjadi KD (Kompetensi Dasar).
Melihat dari penamaannya, KTSP sebenarnya digadang-gadang bisa
memunculkan potensi sekolah untuk memacu diri mencapai prestasi
setinggi-tingginya sesuai dengan potensi lokal yang tersedia. Kurikulum bisa
dikembangkan sendiri, dengan catatan Kompetensi Dasar tidak boleh dikurangi.
Dengan adigium inilah kita kemudian mengenal Sekolah Berwawasan Khusus, Sekolah
Standar Nasional (SSN), dan Sekolah Berstandar Internasional (SBI) yang
belakangan dimentahkan keberadaanya oleh Mahkamah Konstitusi karena potensi
diskriminannya.
Akhir-akhir ini, kita diributkan dengan wacana pemberlakuan kurikulum
baru yang kedengarannya akan dinamai dengan cukup bersahaja : Kurikulum 2013.
Melihat periodisasi lahirnya kurikulum baru (sejak kurikulum 1994) yang
berpola sepuluh tahunan, kita patut menduga bahwa pemerintah sebenarnya baru
mengambil ancang-ancang untuk lahirnya kurikulum 2014. Dengan kata lain,
kurikulum 2013 adalah bayi prematur yang kemudian akan menjelma menjadi
kurikulum 2014. Argumennya adalah sekalipun Pak Menteri pernah memastikan bahwa
kurikulum 2013 akan berlaku serentak, ternyata statemennya dalam hitungan bulan
sudah berubah menjadi berlaku secara sporadis, mungkin bahkan randoming.
Terbukti, untuk tingkat satuan pendidikan SMA di Kabupaten Cilacap, pada tahun
pelajaran 2013-2014 baru tujuh SMA yang ditunjuk untuk memberlakukan kurikulum
tersebut. Ketujuh SMA yang dimaksud adalah SMA N 1 Cilacap, SMA N 2 Cilacap,
SMA N 3 Cilacap, SMA Muhammadiyah Cilacap, SMA N Jeruklegi, SMA N Binangun, dan
SMA N Cipari. Tentu saja jumlah sebegitu belum merepresentasikan jumlah SMA
se-Kabupaten Cilacap yang jumlahnya melebihi 50 sekolah.
Secara presentasi, jumlah SMA yang ditunjuk untuk memberlakukan
kurikulum 2013 untuk wilayah Kabupaten Cilacap berarti hanya sekitar 14%. Namun
ternyata angka ini jauh lebih tinggi daripada sampling pemberlakukan kurikulum
2013 pada skala nasional yang hanya 3% saja.
Bagaimana Wajah Kurikulum 2013
yang Baru?
Sejujurnya masih cukup gelap bagi kita untuk menggambarkan form dari
kurikulum terbaru ini. Selain belum diberlakukan, kurangnya sosialisasi
pemerintah akan wujud kurikulum 2013 menjadi kendala yang berarti untuk
memahami dan mendalaminya. Namun dari beberapa informasi yang diperoleh
didapatkan gambaran sebagai berikut:
Peminatan (semula penjurusan) akan dilakukan mulai kelas X. Ini berarti
peserta didik sudah harus memutuskan akan ke bagian jurusan apakah ia
bersekolah di SMA. Ini berarti pula harus ada mekanisme peminatan yang
dilaksanakan bersamaan waktunya dengan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).
Barangkali model ini terinspirasi dari apa yang sudah diberlakukan untuk jenis
pendidikan di tingkat SMK, dimana siswa sudah akan memasuki jurusan life skill
yang diminatinya semenjak kelas X.
Sementara itu, kritik pada KTSP yang dinilai terlalu banyak membebani
peserta didik akibat mata pelajaran yang kelewat banyak mendasari alasan beberapa
mata pelajaran yang ada pada KTSP sekarang dihapus. Tidak ada substitute untuk
mengganti mata pelajaran tersebut, alias semata-mata mengurangi jumlah mata
pelajaran.
Jam yang berkurang akibat penghapusan beberapa mata pelajaran tersebut
pada akhirnya diberikan pada beberapa mata pelajaran yang lain, yang menurut
perumus kurikulum ini lebih substansial.
Perbedaan KTSP dengan Kurikulum
2013 Bidang Fisika
Jam pada mata pelajaran fisika boleh dikatakan tidak berubah alias
ajeg. Hanya saja karena peminatan dilakukan mulai kelas X, maka total jam mata
pelajaran secara keseluruhan juga akan berkurang. Tentunya ini akan berdampak
pada distribusi jam bagi guru-guru fisika dalam rangka pemenuhan kewajiban guru
profesional yang 24 jam itu.
Tidak ada materi substansi fisika yang dihapus, artinya standar isi
untuk mata pelajaran fisika pada kurikulum 2013 boleh dikatakan hampir sama
dengan standar isi pada KTSP. Hanya saja, beberapa materi berpindah posisi,
seperti hidrostatis dan Teori Kinetik Gas Ideal yang semula dipelajari di kelas
XI sekarang berpindah kedudukan menjadi materi yang dipelajari di kelas X.
Penyempurnaan pada kurikulum 2013 bidang studi fisika terletak pada
penugasan berupa karya nyata (semacam teknologi tepat guna) yang harus dilakoni
oleh siswa dengan bekal keilmuan yang telah dipelajari. Harapannya adalah agar
peserta didik mampu merangkai jembatan pengetahuan yang merelasikan antara
fisika teori dengan fisika aplikatif.
Dengan ini barangkali peserta didik akan terstimulasi untuk mengembangkan
kemampuan development and research (D & R) bagi kemajuan teknologi di
sekitarnya.
TIK yang Raib
Agak mengherankan memang mengingat TIK adalah mata pelajaran yang
sangat up to date dalam rangka mengenalkan peserta didik pada teknologi yang
kemajuannya luar biasa. Alih-alih menyempurnakan standar isi pada mata
pelajaran TIK, perumus kurikulum malah mendelete mata pelajaran ini dari
struktur kurikulum. Mungkin, argumen yang mereka pakai adalah realita bahwa
tanpa pelajaran di kelaspun peserta didik akan mampu mengembangkan kemampuannya
dalam penguasaan teknologi informasi melalui pembelajaran otodidak.
Tapi benarkan argumentasi seperti ini dijadikan alasan untuk meniadakan
mata pelajaran TIK?
Bukankan peserta didik hanya mampu mengoperasikan komputer hanya pada
aplikasi-aplikasi tertentu yang lebih bersifat rekreatif seperti membuat akun
facebook, twitter, atau sekedar bermain game online?
Tidakkah mutlak dibutuhkan seorang guru untuk mengajari mereka
bagaimana merakit hardware, menginstall software, membuat pemrograman dalam
bahasa komputer (Turbo Pascal maupun VB), atau mendisain grafis melalui corel
atau adobe photosop? Belum lagi peserta didik juga tidak mungkin mempelajari
secara otodidak prinsip-prinsip apresiasi terhadap hak paten, atau memanfaatkan
program-program aplikasi yang sangat familier seperti word, excell under
windows maupun program aplikasi lainnya.
Benar memang ada beberapa anak yang mampu membuat program aplikasi
tanpa bekal ilmu dari bangku sekolah, seperti pencipta situs sosial Saling
Sapa, tapi mereka bisa jadi memang memiliki cetak biru otak yang sangat pas
untuk berkreasi di bidang pemrograman. Sedangkan sebagian besar dari anak-anak
seusia mereka tidaklah demikian.
Artinya peranan guru masih sangat diperlukan oleh kebanyakan peserta
didik untuk mengenal, menguasai, mendalami, maupun mengembangkan kemampuannya
dalam penguasaan teknologi informasi dan komunikasi itu.
Bajawa dan Bahasa Asing yang
Hilang
Bahasa Jawa adalah mulok yang berlaku dalam skala regional setingkat
provinsi. Bahasa Jawa akan menjadi Bahasa Sunda untuk sebagian besar daerah di
Jawa Barat, akan menjadi Bahasa Dayak di daerah Kalimantan.
Dengan semakin tingginya tingkat mobilitas sosial, intrusi penduduk
juga semakin intens. Tidak terlalu susah untuk mencari orang dari suku Jawa di
daerah Aceh atau Bali. Sama halnya tidak terlalu sulit untuk menemukan orang
dari Sumatera di daerah Jawa.
Mungkin, kesulitan homogeni penduduk seperti terpapar di ataslah yang
mendasari mengapa mulok tingkat provinsi itu dianulir dari struktur kurikulum
2013. Belum lagi kesulitan seperti yang terjadi di daerah perbatasan, dimana
bahasa ibu yang dipakai bisa saja sangat membingungkan. Kasus seperti ini bisa
dilihat di daerah Dayeuhluhur. Kecamatan yang berada di paling barat dari
Kabupaten Cilacap ini nyata-nyata memiliki bahasa ibu yang justru sama dengan bahasa
ibu daerah di provinsi Jawa Barat, yakni Sunda. Tidak adil mestinya bila mereka
yang hidup dan besar di Jawa Tengah, namun memiliki bahasa ibu dari Jawa Barat,
kemudian dipaksakan untuk mempelajari bahasa yang terasa asing di telinga
mereka, yakni bahasa Jawa.
Bahasa Asing adalah mata pelaran yang bersifat opsional bagi
masing-masing sekolah. Sekolah dengan pertimbangan masing-masing bisa memilih
untuk mengajarkan anak didiknya Bahasa Asing (di luar bahasa Inggris yang masuk
struktur kurikulum sejak dulu kala). Sebagai contoh, SMA N 1 Cilacap memilih
Bahasa Perancis sebagai Bahasa Asing, SMA N 3 Cilacap memutuskan mengembangkan
Bahasa Asing berupa Bahasa Jepang, sedangkan SMA N 2 Cilacap lebih memilih
Bahasa Mandarin sebagai Bahasa Asing yang dikembangkan.
Kurikulum 2013 menghapus mata pelajaran Bahasa Asing dari struktur
kurikulum. Bahkan, jumlah jam pelajaran untuk mata pelajaran Bahasa Inggris
yang merajai kebahasaasingan sejak jaman bahula pun sekarang dikebiri dalam
jumlah yang signifikan. Entah dengan dasar apa dan tujuan apa, peserta didik
seperti dijauhkan dari perbendaharaan Bahasa Asing dan Bahasa Lokal dalam tata
pergaulannya.
Matematika dan Sejarah pada Bengkak
Berbeda nasibnya dengan mapel TIK, Bahasa Jawa, maupun Bahasa Asing,
mata pelajaran Sejarah dan Matematika justru kebanjiran tambahan jam. Sebagai
gambaran, pada struktur KTSP kelas X sejarah hanya dialokasikan 1jam kini
menjadi 3 jam. Matematika yang semula 3 jam kini menjadi 5 jam.
Alhasil, perubahan struktur kurikulum yang membengkakkan jumlah jam
pada mata pelajaran-mata pelajaran tertentu dan disisi lain mengurangi secara
signifikan atau bahkan meniadakan beberapa mata pelajaran akan berdampak pada
kebingungan pengelola sekolah dalam membagi tugas. Guru-guru juga banyak yang
resah akibat kekurangan jam karena bisa berakibat pada tunjangan sertifikasi.
Membengkaknya jumlah jam mata pelajaran sejarah mungkin dengan dasar
pemikiran bahwa mapel ini bisa mempertebal rasa empati, apresiasi, dan
penghargaan pada pahlawan serta menumbukhan rasa patriotisme peserta didik pada
negara yang belakangan ini terasa semakin hambar. Pertanyaannya hanyalah,
proporsionalkan jumlah jam mapel tersebut untuk tujuan yang dimaksud?
Idem dito dengan mapel Sejarah, mata pelajaran Matematika pun
mendapatkan banyak tambahan jam, baik itu untuk jurusan Ilmu Sosial maupun Ilmu
Alam. Agak heran kalau kemudian mata pelajaran ini menjadi menu harian bagi
peserta didik yang mainstream pemikirannya bukan pada kawasan logis-matematis. Tidakkah
setiap peserta didik memiliki kejatidiriannya yang tidak mesti selalu enjoy
ketika bernalar dengan bahasa numerik matematis itu?
Pertanyaannya sama dengan pada mapel sejarah : sudahkan tambahan jam
pada mapel Matematika proporsional untuk tujuan yang dimaksud?
Quo Vadis Pendidikan Kita
Syahdan, setiap kurikulum selalu memiliki dimensi responsibilitas dan
visionaritas. Responsibilitas dimaknai sebagai lahirnya kurikulum untuk
menanggapi perkembangan zaman, baik dalam rekayasa teknologi maupun paradigma
sosial. Sedangkan visionaritas mengandung arti kurikulum memiliki daya jangkau
ke depan sesuai dengan proyeksi perkembangan teknologi dan humaniora pada tahap
berikutnya.
Tidak berbeda halnya dengan kurikulum 2013. Stigma kualitas dunia
pendidikan kita yang konon selalu saja menduduki rangking di bawah (bahkan
dibanding dengan wajah dunia pendidikan setingkat Vietnam)membuat kita senantiasa
miris : ada apa dengan dunia pendidikan kita sehingga selalu dan selalu kalah? Kita
memang sering mendengar bahwa anak didik kita bisa menjuarai lomba olimpiade
fisika, matematika, atau astronomi tingkat internasional. Tetapi kemana mereka
para jawara cilik itu setelah lulus dari pendidikan setingkat SLTA. Bagaimana
pemerintah memberikan bimbingan bagi para juara kecil itu agar kelak menjadi
tenaga ahli yang mampu memberikan sumbangan berarti bagi kemajuan bangsa dan
negara.
Tentulah, lahirnya kurikulum baru moga-moga berangkat dari niatan untuk
terus menerus memperbaiki kualitas pendidikan kita. Semoga pula kita tidak
terjebak pada semacam kutukan quo vadis : apapun kurikulumnya, kita tetap akan
jalan di tempat dalam hal pendidikan.
Cilacap, 21 Maret 2013
KESEDERHANAAN
YANG DIPAKSAKAN
Sewaktu kecil, kita mungkin pernah atau sering
terbengong-bengong melihat orang kaya di kampung kita yang memiliki banyak
mobil, rumah magrong-magrong dengan jumlah kamar jauh diatas jumlah penghuni, keramik
lantai yang meling dan merambat hingga ke dinding. Terasnya pun seperti etalase
toko mebel, dengan pot bunga yang ditumbuhi tanaman langka. Antena parabola
atau TV kabel, dan mesin AC yang menempel di dinding-dinding tiap kamar lebih
menegaskan lagi kalau dia benar-benar kaya, sangat kaya.
Pekarangan rumahnya menjadi sebidang taman yang
tertata rapi, tetumbuhan yang beraneka rupa, kolam dengan ikan koi warna warni,
bersih dengan air mancur yang terus menerus mengucur. Semua serba teratur
karena ada karyawan yang khusus mengurusinya.
Muncul dalam pikiran kita waktu itu : dapat duit
darimana ya ini orang, bisa sekaya itu.
Sederhanakah orang yang memiliki rumah
magrong-magrong tersebut?
Di pojok kampung yang lain, kita melihat sebuah
keluarga dengan rumah berdinding anyaman bambu. Pori-pori dari anyaman itu
membuat sang dedebuan mampu menerobos masuk di siang hari, dan di malamnya
udara dingin akan menyusup lewat pori-pori. Nyamuk? Dengan ukuran tubuhnya yang
kecil mampu menjadikan lubang-lubang pada anyaman itu sebagai pintu masuk dan
keluar.
Cat temboknya adalah kapur yang diencerkan.
Lantainya adalah tanah yang dipadatkan, atau campuran kapur semen dan pasir
yang diratakan. Pendingin udaranya adalah buku tulis bekas atau sobekan karton
sarimi yang sudah tidak digunakan. Springbednya terbuat dari bambu yang
dicacah-cacah dan dibentangkan diatas dipan sederhana terbuat dari kayu
ketewel. Dispensernya berbentuk kendi, atau botol besar aqua bekas. Taman
dipekarangannya ditumbuhi pohon-pohon tahunan : mangga, kelapa, tebu, dan pete.
Rumputnya cukuplah rumput teki, sejenis ilalang yang bila dipotong akan dengan
cepat tumbuh dan tumbuh lagi.
Atapnya seng, atau lebih tepatnya bekas seng. Atau
bila pun menggunakan genteng, maka gentengnya model lama yang akan pecah
diinjak oleh kucing nakal yang naik ke atap.
Sederhanakah orang yang memiliki rumah dengan
gambaran memelas seperti itu?
Sederhana
itu Tidak Rumit
Secara epistomologi, sederhana berarti tidak rumit,
tidak ruwet, apa adanya, minimalis.
Ukuran sederhana tidaknya seseorang tidaklah pasti.
Seseorang yang menggunakan mobil Inova dalam kegiatan keseharian tetaplah bisa
dikatakan sederhana bila dalam kerangka takarannya ia memang mampu untuk tidak
diruwetkan oleh permasalahan-permasalah yang timbul akibat menyediakan
fasilitas mobil setengah mewah itu.
Sebaliknya seseorang yang hanya memiliki sebuah
mobil butut akan dikatakan tidak sederhana bila akibat keberadaan mobil itu
akan membuat kerumitan bagi kondisi finansialnya : sulitnya mengisi tanki
bensin, susahnya menganggarkan ganti ban, tidak adanya biaya untuk servis dan penggantian
suku cadang.
Mobil setengah mewah tetaplah menyederhanakan
tampilan seseorang dan mobil tua tidak bisa masuk dalam kategori itu,
tergantung dari siapa yang memilikinya.
Seorang presiden akan sangat repot ketika harus
berjalan di khalayak umum tanpa pengawalan dari paspampres. Ia akan kewalahan
mendapati begitu banyaknya masyarakat kasta biasa yang ingin bersalaman,
remaja-remaja yang meminta tanda tangannya, atau pedagang kecil yang ingin
mengadukan nasibnya, mungkin juga lawan politik yang ingin menjungkalkannya di
trotoar. Dalam kasus ini, sendirian berjalan di muka umum bagi seorang presiden
menjadi barang yang menyulitkan, rumit dan meruwetkan dan karenanya termasuk
dalam kategori tidak sederhana.
Saat Anda berangkat kerja ke kantor, pagi buta Anda
sudah akan memanasi mesin mobil. Mengelap kaca dengan selembar kanebo,
memastikan air radiator terisi, dan mengecek angin pada roda-roda.
Pekerjaan itu belum kelar hingga Anda mengeluarkan
mobil dari garasi, memarkir pada tempat strategis, kemudian menekan tuas gas
dan kopling hingga meluncurlah mobil Anda ke kantor. Keruwetan akan meluas bila
Anda berpikir berapa rupiah duit APBN yang Anda bakar di ruang karburasi hanya
untuk mengantarkan tubuh Anda sendirian ke kantor. Semakin banyak Anda
menggunakan mobil, semakin besar biaya subsidi APBN yang ditanggung negara
untuk menyuplai hidup Anda.
Dalam konteks ini, bepergian menggunakan mobil
hanya untuk mengangkut seorang penumpang ke kantor adalah perilaku yang tidak
sederhana.
Sederhana :
Sebuah Pilihan
Bagimana perilaku kita dalam keseharian bisa menjadi refleksi
kemana kita merapat : sederhana atau sebaliknya.
Rumah yang kita huni menjadi cerminan seberapa kuat kita
menginginkan sekedar kesan ketimbang substansinya. Rumah yang melahap hampir
semua pekarangan, atap yang membubung tinggi ke langit, desain arsitek yang
kita beli pada sebuah konsultan, tata lampu yang rumit akan menegaskan kepada
para tetangga bahwa kita adalah orang kaya.
Demikian pula sebuah Keluarga kecil dengan dua anak namun
memiliki belasan kamar yang pada akhirnya dibiarkan kosong, dua kamar dapur,
dan beberapa lokasi kamar mandi di berbagai tempat tentulah mencerminkan
kepribadian sang pemilik rumah sebagai orang yang berkecukupan.
Banyak dari kita yang pergi merantau ke luar negeri, dan
wujud dari hasil kerja keras itu kita habiskan untuk membangun sebuah rumah
yang sangat megah. Ini juga menjadi semacam kekeliruan manajemen keuangan,
yakni kita akan berinvestasi besar untuk pencitraan, tanpa mempertimbangkan
bahwa pada saatnya nanti ketika sudah uzur tenaga kita sudah tidak lagi laku di
dunia kerja, produktivitas kita juga akan menurun, dan kita akan terbebani
untuk merawat rumah semegah itu.
Perilaku kita di mall-mall yang kita sambangi tiap bulan juga
terkadang lucu. Sudah matang rencana dari rumah untuk membeli ini dan itu,
namun sesampainya di tempat perbelanjaan, maka daftar belanja akan bisa menjadi
sangat panjang. Itu karena tiap kali kita melihat papan discount, seketika itu
pula kita menjadi seperti butuh untuk membelinya.
Dalam banyak kejadian, kita membeli barang-barang yang
sejatinya tidak kita butuhkan, melainkan hanya kita inginkan. Dan keinginan
itu, sepertinya begitu mudah untuk distimulasi oleh sebuah tulisan besar :
discount lima puluh persen.
Motor yang kita pakai, hape yang kita genggam sepanjang
waktu, pakaian yang kita kenakan, mobil yang kita kendarai, atau sandal yang kita
injak-injak tiap harinya, akan bisa mencerminkan kepribadian kita yang masuk
dalam kategori sederhana atau tidak.
Bila motor kita definisikan sebagai sebatas sarana untuk
transportasi, asal tidak rewel dan aman untuk dikendarai, maka motor yang kita miliki
tidak akan begitu cepat bergonta-ganti merek atau model. Namun bila motor
didefinisikan sebagai modus pencitraan, tentu ceritanya akan lain. Kita akan
selalu berkeinginan untuk mengganti motor tiap kali produsen mengeluarkan
varian terbarunya.
Sederhana atau tidak sederhana tidak lebih daripada sebuah
pilihan. Bila kita sudah terlalu lama terjebak pada pola hidup yang tidak
sederhana, maka kita akan berada pada posisi hidup yang rumit, yang kemudian
orang menyebut kita sebagai pribadi yang boros. Namun bila kesederhanaan sudah
menjadi bagian penting dari keseharian kita, tentu kita akan menjalani hidup
dengan cara yang wajar, orang kemudian akan memasukkan kita sebagai pribadi
yang bersahaja.
Agaknya, cukup penting juga untuk kita renungkan tiap saatnya
seberapa dalam kita sudah terjerembab pada kehidupan yang hedonis, seberapa
rakus kita telah menggerus kemampuan kita hanya untuk sekedar pencitraan, dan
seberapa bijak kita telah membelanjakan uang yang kita peroleh tiap minggunya,
tiap bulannya, atau tiap tahunnya.
Baik juga bila kita memahami sebuah pemikiran tentang testimoni
kesederhanaan, yakni pemahaman yang menyederhanakan hidup seseorang untuk
memfokuskan diripada hal-hal yang paling penting dan mengabaikan atau
menghindari hal-hal yang kurang penting.